Fenomena Sinta dan Jojo menghiasi pembicaraan di dunia maya maupun dunia nyata. Kehadirannya dianggap sebagai preseden buruk kreativitas anak Indonesia. Hal ini berpotensi untuk membuat anggapan, bahwa bangsa ini tidak punya rasa banggaterhadap orisinilitas seni dan terjebak terhadap perilaku instan. Fenomena Sinta dan Jojo sebenarnya tidak patut menjadi perhatian di tengah orang berupaya beradu kreativitas yang orisinil dan mengandalkan kualitas.
Menurut Rully Akbar, analis Uvolution Indonesia, sebuah lembaga yang mengkhususkan diridalam konsultansi komunikasi, kehadiran mereka dengan lagu ‘Keong Racun’, yang diciptakanSubur Tahroni (49) alias Buy Akur dan dinyanyikan Lisa itu, hanya mengandalkan lipsyncdengan kualitas buruk.
“Tapi kemudian diselingi senyum-senyum centil yang memikat perhatian kaum lelaki,” ujar diSelasa (09/6). Seperti diketahui, fenomena menjadi artis instan seperti Sinta dan Jojo menjadi perbincangan dalam industri hiburan Tanah Air. Jakarta,
Lewat lipsync lagu ‘Keong Racun’, kedua wanita lugu ini sontak menjadi sorotan publik. Popularitas kedua mahasiswi Bandung ini booming ketika mereka melakukan aksi lucu danmenggemaskan di depan webcam dan menyebarkan video lypsync-nya di situs Youtube padaJuni lalu. 23
Jumlah dari viewers-nya sudah mencapai 1 juta dan sering menjadi video yang diunggahulang. Situs berita Inggris The Independent juga tak kalah memberitakan fenomena “KeongRacun’ yang sempat menjadi trending topic di salah satu situs microblog Twitter
Berawal dari keisengan tersebut, dengan cepat kehadiran mereka mulai diperbincangkan disalah satu komunitas maya terbesar di Indonesia yakni Kaskus. Lewat perputaran informasicepat seputar video tersebut, akhirnya lenggak-lenggok genit mereka menjadi topikpembicaraan. yang
Situs Youtube memang telah membesarkan banyak talenta-talenta tak bernama, salahsatunya Justin Bieber. Walau Sinta dan Jojo yang sebenarnya hanya mengikuti gaya Lipsyncmenghebohkan seperti dilakukan oleh duo Momoy Palaboy asal Filipina, tapi merekatetap mendapatkan perhatian khalayak. yang
“Coba kita bandingkan dengan para pengamen maupun seniman jalanan yang mempunyaikreativitas lebih tapi tidak punya tempat untuk berkreasi dan dihargai,” tegas Rully.
Selain itu, bagi mereka yang bersusah payah mengikuti audisi atau talent show sepertiAFI, KDI, Indonesia Mencari Bakat, dan acara lainnya yang belum tentu bisase-terkenal Sinta dan Jojo. Indonesian Idol,
Mereka yang sudah berlatih susah payah dan mengembangkan kreativitas, serta memberikannuansa baru bagi seni Indonesia, kadang harus menghadapi kenyataan tidak lolos audisi.
“Kalaupun lolos audisi, belum tentu mereka menjadi tenar karena tidak berhasil mengoleksiSMS voting penonton televisi, sehingga tidak punya tempat dan bahkan dikesampingkan” tutur Rully.
Rully menjelaskan bahwa memang mesti dipahami dalam dunia maya siapapun berhakmenjadi terkenal. Hanya di dunia maya lah yang memberikan kebebasan kepada setiap oranguntuk mengekspresikan diri dan kreatifitas.
Tapi fenomena instan ini sudah menanggalkan sikap sabar dan masyarakat di giring untuktidak percaya dengan anggapan peradaban manusia yang maju dilalui dengan proses panjangmelalui pembelajaran tanpa henti.
Ketika pola instan seperti ini kerap diagungkan, maka secara tidak langsung masyarakatdididik tak ubahnya seperti kerbau yang dengan mudah digiring karena dicucuk hidungnya.
Sebagai kesimpulan Rully menambahkan bahwa generasi artis instan ini sebenarnyamenunjukkan budaya yang tidak menghargai kualitas proses dan hanya mengikuti nafsusesaat. “Secara tidak sadar kita sudah masuk perangkap menjadi manusia yang seragam dankehilangan sensitifitas sosial,” tandasnya.
Karena itu, Rully menghimbau agar media massa, jejaring dunia maya, dan bahkanpemerintah seharusnya memulai untuk memberikan teladan bagaimana bersikap terhadapperilaku instan khususnya di kalangan artis. “Tapi sekarang justru kebalikannya, kita malahmelanggengkan budaya tersebut dengan bangga,” tutupnya.